Jika nantinya UNAS jeblok dan membuat banyak siswa tidak lulus maka itu merupakan cermin dari kegagalan pemerintah dalam mengelola pendidikan. Pemerintah melakukan kesalahan beruntun dengan kegagalan tersebut.
Kesalahan pertama adalah tidak jelasnya tujuan UNAS itu sendiri. Kalau penyelenggaraan UNAS dimaksudkan untuk melihat bagaimana kualitas pendidikan kita secara nasional maka ini jelas mubazir. Jelas sekali bahwa penguasaan materi siswa di Indonesia masih sangat rendah. Dalam sebuah studi perbandingan kualitas pendidikan Indonesia menduduki posisi tiga terbawah dalam penguasaan fisika, matematika, biologi dan bahasa dari 50 negara di dunia, kendati kerap meraih juara dalam kompetisi akademik dunia. Dalam survei lain Indonesia mendapat nilai rata-rata E dalam rapor pendidikan dan berada di peringkat 10 dari 14 negara berkembang di Asia Pasifik (di bawah Vietnam, India, Kamboja, dan Banglades). Perlu bukti apa lagi untuk mengetahui kualitas pendidkan kita? Jika UN dimaksudkan untuk mendapatkan pemetaan kondisi pendidikan nasional, mengapa harus semua siswa mengikutinya? Mengapa tidak menggunakan metode sampling agar lebih hemat? Dan untuk tujuan pemetaan, seharusnya nilai ujian tidak perlu diumumkan, apalagi sampai menjadi patokan kelulusan siswa.Kesalahan kedua adalah dengan menjadikan hasil UNAS sebagai patokan untuk kelulusan siswa. Pemaksaan UNAS sebagai tolok ukur kelulusan siswa mencerminkan kekurangpahaman pemerintah mengenai fungsi dan tujuan ujian, evaluasi, dan standardisasi. Prinsip ujian test what you teach (ujilah apa yang Anda sudah ajarkan) jelas sudah dilanggar jikaUNAS digunakan untuk menentukan kelulusan siswa. Kenapa mesti tiga bidang studi itu saja yang dianggap penting. Selama tiga tahun siswa diajar berbagai macam bidang studi dan tiba-tiba diakhir masa sekolah mereka hanya diuji dengan tiga bidang studi tersebut untuk menentukan gagal atau suksesnya mereka bersekolah. Lagipula tujuan pendidikan yang mengandung prinsip pengembangan aspek intelektual, emosional dan spiritual dari siswa sama sekali tidak digubris. Mana itu segala perbincangan tentang pendekatan multiple intelligences yang juga menjadi salah satu andalan KBK? Meskipun siswa mencapai tahap perkembangan intelektual dan mental yang optimal, mereka akan tetap dianggap gagal jika mereka gagal memenuhi patokan kelulusan UNAS.
Sungguh tragis. Evaluasi mesti memberikan tempat yang sama pentingnya terhadap ranah afektif (sikap) dan psikomotorik (praktik), di samping kognitif (mental). Sungguh tidak masuk akal bahwa kelulusan siswa, terutama sekolah kejuruan, justru ditentukan oleh kemampuannya dalam mengerjakan soal ketiga bidang studi tersebut. Padahal kita mendidik siswa kejuruan agar mereka kompeten dalam mengisi lapangan kerja dan bukan dalam mengerjakan soal UNAS.
Kesalahan ketiga adalah bahwa UNAS ini telah membuat kita mereduksi tujuan pendidikan. Kita sudah tidak perduli lagi dengan tujuan pendidikan dan bagaimana proses tersebut dilakukan. Yang penting bagaimana agar siswa kita semua bisa lolos dari UNAS tersebut. Semua hasil kerja siswa selama tiga tahun, betapapun baiknya, tidak akan kita perdulikan jika ia tidak mampu lolos dalam UNAS. UNAS telah menjadi tujuan pendidikan itu sendiri.
Demi kelulusan yang tidak adil tersebut siswa dicekoki dengan berbagai soal-soal tes dan bahkan sekolah menghentikan pengajaran bidang studi yang dianggap ‘tidak penting’. Tak ada lagi proses belajar mengajar. Yang ada hanyalah drilling soal-soal agar bisa mengerjakan soal UNAS. Jelas yang terjadi justru teach what you test (ajarkan apa yang akanAnda ujikan). Pada saat itulah sekolah terjebak dan berubah menjadi tidak lebih dari bimbingan belajar. Guru yang seharusnya menjadi fasilitator yang mendampingi, mengamati, dan menilai kegiatan dan interaksi siswa juga terjebak dan berubah menjadi mesin distribusi soal-soal latihan dan koreksi jawaban siswa.
Fungsi mesin ini dilanjutkan bimbingan belajar selepas jam sekolah. Orangtua pun cemas, ikut sibuk membelikan tambahan latihan soal-soal yang sudah dikomoditikan oleh penerbit dan toko buku Ketika hasil Pra UNAS diumumkan dan ternyata hasilnya jeblok maka semua pihak sibuk mencari siapa yang patut untuk dijadikan kambing hitam. Siswa (dan orang tua) yang hanya menjadi wayang dalam skenario ini tiba-tiba menjadi tertuduh. Siswa (selalu) menjadi korban.
Analisis kesahihan Soal
Keterkaitan antara pengajaran dan ujian dalam sistem pendidikan nasional juga tidak pernah diuji secara transparan di forum publik. Seharusnya soal-soal ujian yang sudah digunakan dibuka, paling tidak di forum-forum akademik, agar publik bisa menganalisis kesahihan dan keterandalannya serta analisis poin-poin soal. Ini penting mengingat disparitas mutu dan kemampuan menyerap antar daerah masih besar, analisis dan masukan dari berbagai pihak perludilakukan. Proses ini akan membuat birokrat pendidikan semakin tumbuh dalam kompetensi dan pengetahuan.Sungguh mengherankan bahwa ternyata tak sampai 50% siswa yang mampu lolos dari soal Pra UNAS. Jelas soalnya tidak sahih karena melanggar prinsip ujian yaitu soal tidak menguji apa yang diajarkan kepada siswa (test what you teach). Jika siswa selama ini diajarkan lebih kepada menghafal fakta-fakta dan data-data dan tiba-tiba mereka diminta untuk dapat mengerjakan soal yang berkategori analisis ataupun lebih tinggi dari itu maka itu jelas tidak sah. Ini sama dengan mengajarkan siswa TEORI mengemudi tapi yang diuji adalah PRAKTEK mengemudinya. Jelas yang salah bukan siswanya tapi pemerintah yang tidak menjelaskan APA materi dan BAGAIMANA STANDAR dari soal yang diujikan. Tapi jika ternyata pemerintah pusat telah menjelaskan hal ini jauh sebelumnya kepada setiap dinas pendidikan di daerah tapi tidak ditindaklanjuti oleh dinas pendidikan di daerah maka disdik daerahlah yang bersalah. Jika disdik daerah telah membrifing semua kepala sekolah di daerahnya tapi tidak digubris oleh kepala sekolah, maka kepala sekolahlah yang bersalah.Jika kasek telah membrifing guru bidang studi yang diujkan dengan sebaik mungkin tapi guru yang tidak perduli maka guru yang bersalah. Jika guru telah berusaha keras mengajarkan apa yang akan diujikantetapi siswa tetap tidak berusaha sama kerasnya, maka baru disini kita bisa mengatakan bahwa siswa yang bersalah. Jadi siswa berada pada mata rantai paling belakang jika ada yang harus disalahkan. Orang tua? Ia berada di luar lingkaran dan hanya berfungsi sebagai pendukung. Jadi tolong jangan menyalahkan orang tua yang tidak tahu harus berbuat apadalam lingkaran sistem tersebut. Lagipula kegagalan siswa bukan karena faktor pendukung di rumah yang tidak berjalan tapi murni karena faktor kesalahan sistem dari ujian itu sendiri. Untuk mendongkrak nilai rapor atau UNAS, pemerintah tidak cukup hanya mengharapkan siswa dan orangtua bekerja keras. Menyalahkan siswa dan orang tua dalam kegagalan UNAS adalah cermin sikap melepaskan tanggung jawab yang akan membuat bangsa ini tidak mampu belajar dari kesalahan dan memperbaiki diri.
Tapi lepas dari segala hingar-bingar UNAS ini kelak dan kita telah tahu hasil dari UNAS, apa sebenarnya yang akan kita lakukan dengan itu? Apakah cukup sampai disitu dan yang penting kita sudah tahu siapa yang lolos dan siapa yang tidak dengan meninggalkan siswa sebagai korban? Sungguh tragis jika itu yang terjadi. UNAS dapat bermanfaat jika ia dilihat lebih sebagai assessment atas standar pendidikan di Indonesia, bukan sebagai alat evaluasi proses pembelajaran. Atau, kalaupun mau dipakai sebagai alat evaluasi, hendaknya ia tak dijadikan (satu-satunya) penentu kelulusan.Bahwa kita harus punya semangat bekerja keras kalau mau sukses memang benar. Tapi apa betul UNAS (sendirian) bisa membuat orang bekerja keras? Justru yang terjadi selama ini dengan adanya UNAS adalah manipulasi nilai. Ini menunjukkan bahwa UNAS bukan hanya gagal meningkatkan semangat bekerja keras dan prestasi akademik, tapi justrumenyebabkan kemerosotan moral dan karakter pendidikan kita.
Peningkatan mutu akademik terletak bukan hanya pada UNAS, melainkan juga pada banyak sekali aspek lain yang harus digarap secara telaten dan dalam jangka panjang, baik aspek-aspek yang terkait langsung dengan pendidikan ataupun dengan kehidupan bangsa kita secara lebih luas. Selama kualitas pendidikan dan pelatihan guru buruk, gaji guru kecil, sarana pendidikan miskin, manajemen sekolah amburadul, kurikulum tak tepat guna, korupsi merajalela-sehingga dunia pendidikan pun korup, buku teks masuk sekolah lewat jalan menyuap, sekolah cukup memberi pelicin untuk dapat akreditasi baik, dan lulusan sekolah tak merasa perlu berkualitas karena toh dengan nyogok bisa sukses juga dalam hidup-dan masih amat banyak lagi faktor, UNAS tak akan ada manfaatnya dan justru malah merugikan. Memang tak ada jalan pintas dalam meningkatkan kualitas pendidikan kita. Yang lebih penting, energi dan dana besar yang dihabiskan untuk mengukur output pendidikan selayaknya diimbangi peningkatan mutu layanan dan proses pendidikan. Berbagai variabel termasuk guru, kurikulum, sarana, dan prasarana harus mendapat perhatian besar sebelum pemerintah menuntut prestasi siswa
Senin, 21 April 2008
UJIAN NASIONAL
Ujian Nasional SMA baru saja dilangsungkan pada 16-18 April 2007 yang lalu... UN SMP akan diadakan tanggal 25-28 April 2007 yang akan datang... sementara UN SD akan diadakan tahun 2008 yang akan datang....
Apa yang tersisa dari Ujian Nasional hanyalah ngebut belajar sehari semalam, berusaha ikut bimbel sana-sini dan dapat prediksi soal, bayar ratusan ribu rupiah untuk dapat bocoran soal, bayar guru private untuk datang ke rumah dan akhirnya pada pagi hari dapat bocoran jawaban lewat sms ( Trans TV, 19/04 ). Semua yang dipelajari terkadang menjadi terlupakan setelah ujian selesai. Itulah yang terjadi di kota besar Jakarta... bayangkan yang terjadi di desa-desa pelosok, di daerah bencana dan daerah tertinggal lainnya... dimana guru hanyalah seorang volunteer yang mempunyai itikad baik mengajar anak-anak di kampungnya... bisa kita bayangkan bagaimana kelabakannya anak-anak di sana menghadapi soal-soal yang begitu susahnya dan tidak terbayang oleh akal pikirannya.
Lalu mengapa harus Ujian Nasional?
"Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah(Dikdasmen) Depdiknas Suyanto mengatakan, UN itu untuk mencapaistandar kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan secaranasional."
Dengan alasan standar kompetensi... semua murid-murid diharuskan untuk menjadi jagoan matematika, ahli dalam fisika dan mampu menghapal tumpukan buku dan segala isinya... terkadang saya berpikir apakah bapak-bapak dirjen yang terhormat itu tidak pernah datang langsung ke beberapa sekolah dan melihat apa yang menjadi kekurangan di sana... mereka hanya membebankan semuanya itu ke sekolah yang bersangkutan... sekolah lalu membebankannya ke guru... lalu guru membebankannya ke murid... jadi semuanya terbeban karena dirjen-dirjen pendidikan yang kerjanya hanya duduk di balik kursi dan menghabiskan setoran dari tiap-tiap sekolah untuk ujian nasinal....
Saya salut kepada sekolah-sekolah Katolik dimana mereka konsisten dalam dunia pendidikan dibanding dengan beberapa sekolah negeri yang terkadang mentok hanya karena masalah dana dan penggajian. Beberapa anak sma negeri di gereja saya berusaha untuk belajar dengan saya tentang bahasa inggris. Lalu saya bertanya kepada mereka... "bagaimana sistem guru mengajar di sekolah kalian? Guru mengajar sistem KBK bang (Kurikulum Berbasis Kompetensi), dia datang, suruh kita buka buku, dan kita belajar sendiri.... WOW... kok malah jadi sistem kuliah yang diterapkan di SMA, padahal kuliah sendiri pun terkadang tidak seperti itu... itu baru pelajaran bahasa Inggris... bagaimana Matematika, Fisika dan pelajaran lainnya? Tidak mengherankan jika tahun lalu angka kelulusan di sebuah sekolah ternyata 0 alias tidak ada yang lulus...
Mari kita saksikan bersama-sama apa yang akan terjadi ke depan... dengan dinaikkan-nya angka standar kelulusan... yang saya lihat ke depan hanyalah bencana nasional... jika siswa gagal dalam satu mata pelajaran... maka dia harus mengulang tahun depan... Lalu dirjen itu menyalahkan sekolah... sekolah menyalahkan guru... guru menyalahkan murid karena kurang belajar... murid menyalahkan diri sendiri... stress dan depresi.... sungguh mengenaskan... mengapa kita tidak bisa memperbaiki sistem pendidikan kita... mengapa semua anak diharapkan untuk jadi jago matematika... mereka di plot untuk jadi dokter, insinyur, pilot... apakah itu pengharapan dari semua anak? pernahkah kita bertanya pada mereka besok mau jadi apa? Mengapa orangtua tidak bisa memberi kesempatan pada anak untuk menjadi apa yang mereka inginkan dibanding apa yang dulu gagal kita raih... dan demi gengsi kepada sanak famili dan tetangga serta rekan kerja... apakah kita berhak menentukan masa depan mereka?
Masih banyak anak di sekolah saya yang ingin menjadi polisi, guru, pelukis, pengusaha, arsitek, penulis komik, koreografer bahkan fashion designer... apa yang salah dengan cita-cita seorang anak?
Apa yang salah dengan sistem pendidikan kita?
atau ada yang salah dengan cara kita berpikir dan ekspektasi kita terhadap seorang anak?
Apa yang tersisa dari Ujian Nasional hanyalah ngebut belajar sehari semalam, berusaha ikut bimbel sana-sini dan dapat prediksi soal, bayar ratusan ribu rupiah untuk dapat bocoran soal, bayar guru private untuk datang ke rumah dan akhirnya pada pagi hari dapat bocoran jawaban lewat sms ( Trans TV, 19/04 ). Semua yang dipelajari terkadang menjadi terlupakan setelah ujian selesai. Itulah yang terjadi di kota besar Jakarta... bayangkan yang terjadi di desa-desa pelosok, di daerah bencana dan daerah tertinggal lainnya... dimana guru hanyalah seorang volunteer yang mempunyai itikad baik mengajar anak-anak di kampungnya... bisa kita bayangkan bagaimana kelabakannya anak-anak di sana menghadapi soal-soal yang begitu susahnya dan tidak terbayang oleh akal pikirannya.
Lalu mengapa harus Ujian Nasional?
"Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah(Dikdasmen) Depdiknas Suyanto mengatakan, UN itu untuk mencapaistandar kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan secaranasional."
Dengan alasan standar kompetensi... semua murid-murid diharuskan untuk menjadi jagoan matematika, ahli dalam fisika dan mampu menghapal tumpukan buku dan segala isinya... terkadang saya berpikir apakah bapak-bapak dirjen yang terhormat itu tidak pernah datang langsung ke beberapa sekolah dan melihat apa yang menjadi kekurangan di sana... mereka hanya membebankan semuanya itu ke sekolah yang bersangkutan... sekolah lalu membebankannya ke guru... lalu guru membebankannya ke murid... jadi semuanya terbeban karena dirjen-dirjen pendidikan yang kerjanya hanya duduk di balik kursi dan menghabiskan setoran dari tiap-tiap sekolah untuk ujian nasinal....
Saya salut kepada sekolah-sekolah Katolik dimana mereka konsisten dalam dunia pendidikan dibanding dengan beberapa sekolah negeri yang terkadang mentok hanya karena masalah dana dan penggajian. Beberapa anak sma negeri di gereja saya berusaha untuk belajar dengan saya tentang bahasa inggris. Lalu saya bertanya kepada mereka... "bagaimana sistem guru mengajar di sekolah kalian? Guru mengajar sistem KBK bang (Kurikulum Berbasis Kompetensi), dia datang, suruh kita buka buku, dan kita belajar sendiri.... WOW... kok malah jadi sistem kuliah yang diterapkan di SMA, padahal kuliah sendiri pun terkadang tidak seperti itu... itu baru pelajaran bahasa Inggris... bagaimana Matematika, Fisika dan pelajaran lainnya? Tidak mengherankan jika tahun lalu angka kelulusan di sebuah sekolah ternyata 0 alias tidak ada yang lulus...
Mari kita saksikan bersama-sama apa yang akan terjadi ke depan... dengan dinaikkan-nya angka standar kelulusan... yang saya lihat ke depan hanyalah bencana nasional... jika siswa gagal dalam satu mata pelajaran... maka dia harus mengulang tahun depan... Lalu dirjen itu menyalahkan sekolah... sekolah menyalahkan guru... guru menyalahkan murid karena kurang belajar... murid menyalahkan diri sendiri... stress dan depresi.... sungguh mengenaskan... mengapa kita tidak bisa memperbaiki sistem pendidikan kita... mengapa semua anak diharapkan untuk jadi jago matematika... mereka di plot untuk jadi dokter, insinyur, pilot... apakah itu pengharapan dari semua anak? pernahkah kita bertanya pada mereka besok mau jadi apa? Mengapa orangtua tidak bisa memberi kesempatan pada anak untuk menjadi apa yang mereka inginkan dibanding apa yang dulu gagal kita raih... dan demi gengsi kepada sanak famili dan tetangga serta rekan kerja... apakah kita berhak menentukan masa depan mereka?
Masih banyak anak di sekolah saya yang ingin menjadi polisi, guru, pelukis, pengusaha, arsitek, penulis komik, koreografer bahkan fashion designer... apa yang salah dengan cita-cita seorang anak?
Apa yang salah dengan sistem pendidikan kita?
atau ada yang salah dengan cara kita berpikir dan ekspektasi kita terhadap seorang anak?
UJIAN NASIONAL
Ujian Nasional SMA baru saja dilangsungkan pada 16-18 April 2007 yang lalu... UN SMP akan diadakan tanggal 25-28 April 2007 yang akan datang... sementara UN SD akan diadakan tahun 2008 yang akan datang....
Apa yang tersisa dari Ujian Nasional hanyalah ngebut belajar sehari semalam, berusaha ikut bimbel sana-sini dan dapat prediksi soal, bayar ratusan ribu rupiah untuk dapat bocoran soal, bayar guru private untuk datang ke rumah dan akhirnya pada pagi hari dapat bocoran jawaban lewat sms ( Trans TV, 19/04 ). Semua yang dipelajari terkadang menjadi terlupakan setelah ujian selesai. Itulah yang terjadi di kota besar Jakarta... bayangkan yang terjadi di desa-desa pelosok, di daerah bencana dan daerah tertinggal lainnya... dimana guru hanyalah seorang volunteer yang mempunyai itikad baik mengajar anak-anak di kampungnya... bisa kita bayangkan bagaimana kelabakannya anak-anak di sana menghadapi soal-soal yang begitu susahnya dan tidak terbayang oleh akal pikirannya.
Lalu mengapa harus Ujian Nasional?
"Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah(Dikdasmen) Depdiknas Suyanto mengatakan, UN itu untuk mencapaistandar kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan secaranasional."
Dengan alasan standar kompetensi... semua murid-murid diharuskan untuk menjadi jagoan matematika, ahli dalam fisika dan mampu menghapal tumpukan buku dan segala isinya... terkadang saya berpikir apakah bapak-bapak dirjen yang terhormat itu tidak pernah datang langsung ke beberapa sekolah dan melihat apa yang menjadi kekurangan di sana... mereka hanya membebankan semuanya itu ke sekolah yang bersangkutan... sekolah lalu membebankannya ke guru... lalu guru membebankannya ke murid... jadi semuanya terbeban karena dirjen-dirjen pendidikan yang kerjanya hanya duduk di balik kursi dan menghabiskan setoran dari tiap-tiap sekolah untuk ujian nasinal....
Saya salut kepada sekolah-sekolah Katolik dimana mereka konsisten dalam dunia pendidikan dibanding dengan beberapa sekolah negeri yang terkadang mentok hanya karena masalah dana dan penggajian. Beberapa anak sma negeri di gereja saya berusaha untuk belajar dengan saya tentang bahasa inggris. Lalu saya bertanya kepada mereka... "bagaimana sistem guru mengajar di sekolah kalian? Guru mengajar sistem KBK bang (Kurikulum Berbasis Kompetensi), dia datang, suruh kita buka buku, dan kita belajar sendiri.... WOW... kok malah jadi sistem kuliah yang diterapkan di SMA, padahal kuliah sendiri pun terkadang tidak seperti itu... itu baru pelajaran bahasa Inggris... bagaimana Matematika, Fisika dan pelajaran lainnya? Tidak mengherankan jika tahun lalu angka kelulusan di sebuah sekolah ternyata 0 alias tidak ada yang lulus...
Mari kita saksikan bersama-sama apa yang akan terjadi ke depan... dengan dinaikkan-nya angka standar kelulusan... yang saya lihat ke depan hanyalah bencana nasional... jika siswa gagal dalam satu mata pelajaran... maka dia harus mengulang tahun depan... Lalu dirjen itu menyalahkan sekolah... sekolah menyalahkan guru... guru menyalahkan murid karena kurang belajar... murid menyalahkan diri sendiri... stress dan depresi.... sungguh mengenaskan... mengapa kita tidak bisa memperbaiki sistem pendidikan kita... mengapa semua anak diharapkan untuk jadi jago matematika... mereka di plot untuk jadi dokter, insinyur, pilot... apakah itu pengharapan dari semua anak? pernahkah kita bertanya pada mereka besok mau jadi apa? Mengapa orangtua tidak bisa memberi kesempatan pada anak untuk menjadi apa yang mereka inginkan dibanding apa yang dulu gagal kita raih... dan demi gengsi kepada sanak famili dan tetangga serta rekan kerja... apakah kita berhak menentukan masa depan mereka?
Masih banyak anak di sekolah saya yang ingin menjadi polisi, guru, pelukis, pengusaha, arsitek, penulis komik, koreografer bahkan fashion designer... apa yang salah dengan cita-cita seorang anak?
Apa yang salah dengan sistem pendidikan kita?
atau ada yang salah dengan cara kita berpikir dan ekspektasi kita terhadap seorang anak?
Apa yang tersisa dari Ujian Nasional hanyalah ngebut belajar sehari semalam, berusaha ikut bimbel sana-sini dan dapat prediksi soal, bayar ratusan ribu rupiah untuk dapat bocoran soal, bayar guru private untuk datang ke rumah dan akhirnya pada pagi hari dapat bocoran jawaban lewat sms ( Trans TV, 19/04 ). Semua yang dipelajari terkadang menjadi terlupakan setelah ujian selesai. Itulah yang terjadi di kota besar Jakarta... bayangkan yang terjadi di desa-desa pelosok, di daerah bencana dan daerah tertinggal lainnya... dimana guru hanyalah seorang volunteer yang mempunyai itikad baik mengajar anak-anak di kampungnya... bisa kita bayangkan bagaimana kelabakannya anak-anak di sana menghadapi soal-soal yang begitu susahnya dan tidak terbayang oleh akal pikirannya.
Lalu mengapa harus Ujian Nasional?
"Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah(Dikdasmen) Depdiknas Suyanto mengatakan, UN itu untuk mencapaistandar kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan secaranasional."
Dengan alasan standar kompetensi... semua murid-murid diharuskan untuk menjadi jagoan matematika, ahli dalam fisika dan mampu menghapal tumpukan buku dan segala isinya... terkadang saya berpikir apakah bapak-bapak dirjen yang terhormat itu tidak pernah datang langsung ke beberapa sekolah dan melihat apa yang menjadi kekurangan di sana... mereka hanya membebankan semuanya itu ke sekolah yang bersangkutan... sekolah lalu membebankannya ke guru... lalu guru membebankannya ke murid... jadi semuanya terbeban karena dirjen-dirjen pendidikan yang kerjanya hanya duduk di balik kursi dan menghabiskan setoran dari tiap-tiap sekolah untuk ujian nasinal....
Saya salut kepada sekolah-sekolah Katolik dimana mereka konsisten dalam dunia pendidikan dibanding dengan beberapa sekolah negeri yang terkadang mentok hanya karena masalah dana dan penggajian. Beberapa anak sma negeri di gereja saya berusaha untuk belajar dengan saya tentang bahasa inggris. Lalu saya bertanya kepada mereka... "bagaimana sistem guru mengajar di sekolah kalian? Guru mengajar sistem KBK bang (Kurikulum Berbasis Kompetensi), dia datang, suruh kita buka buku, dan kita belajar sendiri.... WOW... kok malah jadi sistem kuliah yang diterapkan di SMA, padahal kuliah sendiri pun terkadang tidak seperti itu... itu baru pelajaran bahasa Inggris... bagaimana Matematika, Fisika dan pelajaran lainnya? Tidak mengherankan jika tahun lalu angka kelulusan di sebuah sekolah ternyata 0 alias tidak ada yang lulus...
Mari kita saksikan bersama-sama apa yang akan terjadi ke depan... dengan dinaikkan-nya angka standar kelulusan... yang saya lihat ke depan hanyalah bencana nasional... jika siswa gagal dalam satu mata pelajaran... maka dia harus mengulang tahun depan... Lalu dirjen itu menyalahkan sekolah... sekolah menyalahkan guru... guru menyalahkan murid karena kurang belajar... murid menyalahkan diri sendiri... stress dan depresi.... sungguh mengenaskan... mengapa kita tidak bisa memperbaiki sistem pendidikan kita... mengapa semua anak diharapkan untuk jadi jago matematika... mereka di plot untuk jadi dokter, insinyur, pilot... apakah itu pengharapan dari semua anak? pernahkah kita bertanya pada mereka besok mau jadi apa? Mengapa orangtua tidak bisa memberi kesempatan pada anak untuk menjadi apa yang mereka inginkan dibanding apa yang dulu gagal kita raih... dan demi gengsi kepada sanak famili dan tetangga serta rekan kerja... apakah kita berhak menentukan masa depan mereka?
Masih banyak anak di sekolah saya yang ingin menjadi polisi, guru, pelukis, pengusaha, arsitek, penulis komik, koreografer bahkan fashion designer... apa yang salah dengan cita-cita seorang anak?
Apa yang salah dengan sistem pendidikan kita?
atau ada yang salah dengan cara kita berpikir dan ekspektasi kita terhadap seorang anak?
Handphone geser Sony Ericsson T303
Sony Ericsson telah meluncurkan handphone geser terbarunya, T303. Handphone berukuran kecil ini mempunyai layar seperti cermin dan berwarna besi chrome. Dilengkapi dengan 1.3mpx kamera dengan 4x zoom, koneksi Bluetooth,
media palyer dengan FM radio, Track ID dan tempat pelindung IDC-22. Sony Ericsson T303/T303c bekerja pada GSM/GPRS 900/1800/1900 sedangkan T303a bekerja pada GSM/GPRS 850/1800/1900. Kedua seri handphone ini akan beredar di pasaran di pertengahan 2008.

BenQ Joybook A53

BenQ sepertinya salah menginformasikan spec dari laptop terberunya Joybook A53
yang sebenarnya tidak menggunakan prosesor Penryn, tetapi masih menggunakan prosesor Core 2 Duo T7250. Fitur di dalam gadget ini:-
- 512MB RAM(!)
- 80 to 200GB 5400RPM hard drive
- Dual-layer DVD writer
- 15.4" WXGA (1,280 x 800) resolution display
- 3 x USB 2.0 ports
- VGA output
- Audio in/out
- Integrated Ethernet/WiFi
- 4-in-1 multicard reader
- 0.3-megapixel webcam
Langganan:
Postingan (Atom)